|
Bagaimana Kita Melihat Teatrikal Dunia. (Foto: Istimewa) |
PC. PMII Tuban - Sebelum
membahas isi dari judul di atas, mari kita bercerita sejenak. Tentang kisah
seorang Putri kerajaan God Nika dengan Pangeran pengagum anime. Semoga kalian menikmatinya
dan membacanya seperti halnya membaca cerita. Selamat menikmati.
Kita sebut saja Jalaludin Al Farabi,
teman-temannya menyebutnya sebagai Jalal (nama tongkrongannya adalah Jothun),
bisa dibilang hidupnya bahagia bersama kekasihnya yang telah ia cintai selama
kurang lebih empat tahun hingga sekarang, sebut saja namanya Nurul Afiyah.
Dalam segi umur mereka bisa dibilang sebaya, dilihat dari tahun kelulusan
mereka yang hampir sama, akan tetapi seiring berjalannya waktu, Jalaludin Al
Farabi cenderung lebih terlihat dewasa dibandingkan Nurul Afiyah. Dan Nurul
Afiyah tampak memiliki aura kewibawaan semenjak dirinya menjalin hubungan
dengan Jalaludin Al Farabi.
Gadis itu manis dan cantik, parasnya yang
lemah lembut sangat cocok dengan kepribadian Jalal yang selalu ingin terlihat gentle di mata gadisnya. Nurul Afiyah
adalah santriwati di sebuah pondok pesantren yang dibangun hampir satu abad
silam, bisa kita sebut sebagai Pesantren Al-Mubarok. Konon katanya, Nurul
Afiyah sudah lama menetap di sana sebagai santri, dan di usianya yang mencapai
umur kedewasaan ia memiliki kewajiban di sana sebagai seorang pengajar. Setelah
mengarungi masa hubungan mereka selama hampir kurang lebih empat tahun, masalah
pun terjadi. Awalnya Nurul Afiyah dihasut oleh seseorang bahwa Jalal merupakan orang
yang tidak mudah dipercaya. Entah dengan sihir apa yang membuat Nurul Afiyah
mulai tidak mempedulikan kekasihnya itu dan memutuskan untuk memblokir semua
sosial media milik Jalaludin Al Farabi. Mendengar hal tersebut, Jalal merasa
ada yang tidak beres.
Sementara itu, ada cerita lain lagi yang
dikemukaan oleh Nurul Afiyah sendiri. Mengenai dirinya yang sedang mendapatkan
perhatian khusus dari seorang Gus, yaitu putra dari Kiai pengasuh pondok
pesantren Al-Mubarok. Sepertinya karena hal itulah ia rela meninggalkan Jalal dan
lebih memilih anak dari pengasuh pondok tempat dirinya mengabdi. Mengetahui hal
tersebut, Jalal pun merelakan dirinya menghempaskan nyawa bersama angin malam
demi menemui Gus yang katanya akan mempersunting Nurul Afiyah itu.
Di sana Jalal berbicara dengan Gus
tersebut, mencoba mengatakan kepada lelaki santri pondok Sarang itu bahwa Nurul
Afiyah adalah pujaan hatinya, mereka sudah terikat dengan janji bersama dan
akan menikah ketika semua akan baik-baik saja. Dalam sudut pandang Nurul
Afiyah, keduanya sangat menggebu-gebu untuk mendapatkan dirinya. Dia merasa
bahwa ia harus lebih fokus saja kepada diri sendiri dibandingkan memikirkan dua
pangeran berkuda putih yang siap bertarung demi mendapatkannya. Namun melihat
dari tingkahnya, Nurul Afiyah sama sekali tidak mempedulikan keduanya. Dengan
keputusan yang mentah-mentah, Nurul Afiyah mengatakan kepada Jalal untuk
berhenti menghubungi dia. Alih-alih mengakhiri hubungan mereka.
Hancurlah hati Jalal pada saat itu,
menangis tanpa air mata berwarna merah yang keluar dari ujung matanya, sampai Jalal
mencoba untuk meminum sabun pencuci piring yang pada akhirnya ia tak mungkin
mau melakukannya karena masih sayang nyawa. Kesedihan telah membendung dalam
pikirannya. Hal ini berlangsung selama hampir satu bulan penuh, Nurul Afiyah
telah menutup semua sosial media milik kekasihnya itu -sampai-sampai saya juga
ikut turun tangan untuk bersandiwara-, hati
Jalal telah dicampakkan. Oleh satu orang wanita yang sangat ingin ia miliki
itu.
Hingga pada penghujung drama teatrikal,
Nurul Afiyah pun kembali ke dalam balutan cinta Jalal, sosial medianya kembali
normal seperti sediakala. Mereka berbicara, chatting
Whatsapp seolah memang tidak terjadi apa-apa. Dan saya memprediksi dengan
baik, sebelum menerima kabar tentang berseminya kembali cinta mereka, saya
menduga bahwa mereka kembali menjalin hubungan lagi. Dunia ini memang penuh
dengan drama, ujar Nurul Afiyah. “Banyak cobaan yang harus dilalui.” Tambahnya.
Tentu hal itu bukan hal yang patut dipertentangkan karena ini berurusan tentang
pengalaman hidup. Wajar Afiyah mengucapkan itu karena hal ini merupakan
pengalaman dirinya.
Karena Afiyah sudah mengeklaim bahwa dunia
merupakan panggung sandiwara, jadi wajar saja, karena pola mindset-nya sudah terukir demikian. Dan apakah hal ini berhubungan
dengan kasus di atas? Tentu bisa. Akan tetapi kesimpulan mengenai dunia adalah
panggung sandiwara sering kali baru tersimpulkan setelah kejadian demi kejadian
sudah terekam jelas dalam ingatannya.
Dalam konteks lain, dunia ini tidak
selamanya menjadi sandiwara bagi orang-orang tertentu, dalam buku berjudul
Filsafat Manusia yang pernah saya baca —saya tidak hafal dengan nama penulisnya,
pokoknya bukunya berwarna pink— Dunia akan
terlihat sebagai setumpukan tragedi bagi mereka yang berpikir menggunakan
perasaan, dan dunia akan terlihat sebagai sebuah lelucon bagi mereka yang
berpikir menggunakan logika.
Dan benar adanya hal itu sering terjadi
tanpa kita sadari secara langsung. Tergantung mindset itu benar-benar bekerja meski bukan berarti kita harus nongki di cafe dan membeli kopi seharga
delapan puluh ribu waktu kita tak punya uang. Mindset itu telah mengubah kehidupan seseorang. Meski dia masih
seorang mahasiswa sekalipun, selagi ia mau mengasah pola pikirnya, terus mau
membaca, menjadi mahasiswa bukan lagi hal yang perlu dibebankan.
Takdir tidak akan mengubahmu jika kau
tidak mengubah pola pikirmu. Bukankah seperti itu?.
Kembali kepada kasus di atas, tentu ada
beberapa dari kita yang akan berpikir, “Mengapa harus bermain drama seperti itu
jika pada akhirnya mereka bersatu kembali?”, di antara kita mungkin ada yang
menjawab, bahwasanya Afiyah ingin menguji keseriusan Jalal yang mencintainya.
Benarkah dia akan menikahiku? Benarkah dia akan melamarku dan mempersuntingku?
Begitulah isi dari keraguan Afiyah (secara harfiah). Cinta itu tak memiliki
wujud, seperti jasad manusia ataupun partikel di sekelilingnya, karena itulah
cinta butuh dibuktikan. Tentu saja dengan sebuah pengorbanan. Meski pada
akhirnya akan sakit hati, namun kerelaan Jalal yang menemui Gus tersebut
mungkin tidak akan sia-sia.
Pada
dasarnya manusia akan meminta lebih dari apa yang dia miliki, cinta tidak
sekadar cinta, ada beberapa naskah drama yang harus mereka lalui demi
menguatkan esensi cinta itu sendiri.
Begitulah kiranya satu bab mengenai dunia
yang akan terlihat pahit di mata mereka yang memiliki perasaan dibandingkan
orang yang melihat dunia dengan begitu luas. Tentu saja pola berpikirnya perlu
dikembangkan lagi. Mengingat kasus di atas kembali, bayangkan seandainya Afiyah
dan Jalal tidak bersatu seperti sedia kala, apa yang akan terjadi dengan para
penonton drama mereka? Apa yang akan mereka pikirkan?
Mungkin akan kasihan dengan Afiyah, atau
mungkin mereka akan menyalahkan Afiyah karena telah mencampakkan lelaki yang
sudah setia mencintainya —orang setia itu jarang ditemukan, maka jika engkau
mendapatkan pasangan yang tulus mencintaimu, jangan sakiti dia dan jangan
menyia-nyiakan keberadaannya— akan tetapi hipotesis-hipotesis semacam ini akan
hilang jika mereka sudah kembali menjadi pasangan yang —hampir
dikatakan— sempurna. Saya sangat bersyukur telah mendengar kabar baik itu karena
saya tak akan repot-repot lagi menulis kemungkinan-kemungkinan yang mengapung. Cukup
mendengar mereka bersatu kembali seperti sedia kala sudah hal yang baik membuat
saya ikut senang. Masa empat tahun perjalanan mereka sebagai pasangan sejoli tak
mungkin harus pupus begitu saja hanya karena Jalal melakukan pinjol (ini berada
di luar konteks di atas, tidak akan dibahas secara rinci).
Menyangkut isi tulisan ini —saya tidak
ingin menganggapnya sebagai sebuah opini kecuali tulisan ini bisa tersampaikan
kepada para pembaca— istilah Dunia Panggung Sandiwara sudah saya jabarkan
melalui kisah nyata di atas. Mengenai kehidupan sepasang kekasih yang (sepertinya)
harus dibumbuhi dengan adegan-adegan emosional agar kisah cintanya terasa
sempurna. Benarkah akan terlihat sempurna?.
Sebagian orang akan mengatakan kehidupan
ini tidak melulu soal cinta, dan tak seharusnya hidup harus dibumbui tentang
cinta. Itu benar, kita tidak bisa mengatakan hal itu merupakan argumen yang
kurang cocok dengan fakta. Akan tetapi, ada sebagian orang mengatakan tidak ada
drama dunia ini tidak akan memiliki kehidupan. Artinya, panggung sandiwara
merupakan istilah yang cocok untuk menggambarkan sebuah kehidupan umat manusia
yang hidup di muka bumi ini. Bahkan pertemuan Adam dan Hawa juga merupakan
romantisme pertama sebelum dunia panggung sandiwara ditemukan.
Dua pendapat itu bisa kita katakan seperti
antara bumi dan langit, berada pada poros yang berlawanan. Namun kita tak serta
merta menganggap satu di antara keduanya merupakan jawaban yang sesuai dengan
fakta. Keduanya akan bersumber dari mereka yang memiliki pengalaman yang tak
akan sama dengan kita.
Coba kita tanya? Adakah di antara kita
yang sudah menjalin hubungan pacaran berkedok embel-embel komitmen? Ada? Apakah
sejak berada di bangku Madrasah Aliyah? Adakah di antara kita yang memang satu
pun belum pernah menghempaskan diri dalam lautan kemesraan dengan lawan jenis?
Adakah dari kita yang terluka hatinya karena ditinggalkan oleh pujaan hatinya
sehingga membuat dirinya enggan untuk mencari pasangan hidup?
Banyak dinamika yang terkadang tak pernah
kita lihat meski hanya sebentar. Seperti yang terjadi belakangan ini. Pertanyaan
yang beberapa tahun lalu masih hanya muncul satu kali dalam setahun setiap hari
raya idul fitri, tapi kini kita akan mendengarkannya setiap saat.
“Kapan nikah?”
Pertanyaan populer yang selalu dikatakan
oleh orang-orang kebanyakan, entah dari keluarga atau tetangga yang selalu kepo dengan kehidupan kita. Tidak masalah
kalau pertanyaan itu disalurkan kepada mereka yang sudah memiliki pasangan,
jika seandainya pertanyaan itu menimpa mereka yang jomblo? Apa yang akan mereka jawab. Lha ini dia, pertanyaan ini
justru menjurus kepada mereka yang belum mengakhiri masa lajangnya.
Karena sangking banyaknya orang jomblo di dunia ini, khususnya
Indonesia, tentu saja banyak jawaban bervariasi yang khusus diajukan kepada
pertanyaan itu. Bahkan jawaban yang dikeluarkan ada yang lebih ekstrim daripada
apa yang dikira si penanya. Seperti contoh;
1. “Kamu
kapan nikah? Temen-temen kamu udah pada nikah, lho!”
“Ya udah bojomu kunikahin aja.”
2.
“Kamu
kapan nikah? Nanti keduluan tuanya.”
“Nikah koq
cepet-cepet, kayak mo cepet meninggal
aja.”
3. “Kapan
nikah?”
“Nunggu
tante meninggal aku baru nikah.”
Bagaimana reaksi si penanya?? Akan diam
membisukah dia? Tentu jawaban seperti ini beresiko memutus tali silahturohmi di
antara keduanya, hanya karena pertanyaan yang menyakiti mereka sang para jomblo yang memberikan jawaban menohok kepada
sang penanya yang langsung merasa tersakiti.
“Apaan, sih?! Ditanya baik-baik koq jawabnya
begitu?”, Siapa juga yang bertanya? Hak kita, kan, mau menjawab dengan model
seperti apa!?
Dari kasus di atas, mari kita berpikir
sejenak. Jangan dulu naik pitam setelah dikata “udah tua koq, belum nikah”, jangan!. Mari kita merenung sedikit mengenai
percakapan di atas tadi. Pernahkah kita berpikir apa tujuan si penanya
mengungkapkan pertanyaan mistis itu? Apa maksud mereka mempertanyakan apa yang
seharusnya menjadi bagian dari privasi kita, haruskah mereka mengetahui masa
lajang kita yang belum usai?
Memangnya mereka mau menjodohkan kita
dengan anak sepupunya? Kalau cakep, sikatlah! (bercanda, guys, serius) atau mereka bermaksud berpura-pura tidak tahu kalau
kita masih sedang berada di masa lajang? Sebenarnya apa maksud mereka bertanya
seperti itu, pernahkah kita berpikir kembali apa tujuan mereka bertanya
demikian. Pernahkah mereka berpikir tentang kondisi di balik senyuman buatan
kita.
Mungkin si A tidak bisa mengakhiri masa
lajangnya karena sedang berada dalam kondisi merawat adik-adiknya, bapaknya
menikah lagi dan meninggalkan tanggung jawab sebagai seorang ayah dan terpaksa
dirawat oleh si A. Sandwitch Generation kalau
kita istilahkan saat ini.
Pernahkah mereka berpikir seperti itu?
Tidakkah mereka menyadari bahwa orang jomblo
ini juga tak pernah berpikir pertanyaan itu akan mereka lontarkan? Apakah
mereka tak mengira menjawab pertanyaan itu semudah mengangkat Monas untuk
dipindahkan ke IKN? Tentu mereka tidak akan berpikir seperti itu dalam
faktanya.
Sampai-sampai saya memiliki kata-kata
mutiara;
“Manusia
itu penuh dengan tuntutan. Kalau tidak soal makan, pasti akan bertanya kapan
nikah.”
Mereka tak berpikir bagaimana caranya agar
ucapan kita tidak menyakiti mereka yang mencoba untuk terlihat baik-baik saja. Kalau
orang-orang tahu diri, pasti pertanyaan kapan nikah tidak akan mereka lontarkan
mentah-mentah. Memang kita tak berhak menjaga perasaan orang lain, tapi melihat
kondisi dan situasi jangka panjang merupakan keahlian orang yang sadar diri.
Jadi, kalian bersikaplah sadar diri. Pertanyaanmu bisa jadi menyakiti.
Dalam konteks stoikisme, pernikahan atau
memiliki pasangan itu tidak seharusnya karena tuntutan siapapun bahkan itu dari
orang terdekat kita. Kondisi atau keadaan akan mempengaruhi sejauh dan selama
apa kita akan bertemu dengan jodoh kita. Pernahkah kita berpikir seperti itu?
Kalau kita notobenenya orang-orang berpendidikan setidaknya bisa memperhatikan hal
sekecil nano sekalipun. Seperti permasalahan yang kita bahas sejauh ini.
Bagi saya pribadi, waktu seseorang akan
menikah itu relatif —seperti yang sering kalian ungkapkan kalau cantik itu
relatif, sekarang kita geser ke kelas jomblo— setiap orang memiliki waktu akhir
masa lajang mereka, waktu mereka menikah, dan semua memiliki capaian dan masa
yang berbeda. Memang terkadang kita heran dengan orang-orang sana yang dengan
gamblangnya bertanya “kapan nikah” walau mereka hanya sedang basa-basi.
Memangnya kalian—wahai yang sudah bertemu
jodohnya—merasa sendirian, ya, sampai mengajak saya menikah? Sampai bertanya
kapan nikah? Memangnya jumlah warga yang sudah menikah ada berapa? Lebih
banyak, kan, dibandingkan para kaum jomblo? Siapa di antara dua kaum itu yang jumlahnya
mendekati kata sedikit?
Bisa kita simpulkan sendiri tanpa
diucapkan.
Bagi saya waktu menikah itu juga bagian
dari kehendak Tuhan. Dalam konteks islami, orang yang mendapatkan masa menikah
yang lebih cepat itu karena melihat kesiapan dia. Tuhan akan mempertemukan kita
dengan jodoh kita apabila secara diri kita masing-masing memiliki kesiapan.
Baik kesiapan mental, finansial, maupun kesehatan. Ditambah lagi, kesiapan pendidikan
apabila ingin mengajarkan segalanya kepada buah hati kelak.
Tentunya Allah SWT. lebih memahami kita
dibandingkan diri kita yang mengerti keinginan diri sendiri. Allah maha
mengetahui, lebih tahu dibandingkan kita yang mental tempe. Sangking lamanya saya
menjomblokan diri, saya semakin berpikir, “Tuhan itu sudah merencanakan semuanya.
Segalanya tanpa sepengetahuan kita. Jika
saya lebih lama bertemu dengan jodoh saya, itu berarti saya belum siap atas
segala yang ada pada diri saya. Jodoh saya belum siap dipertemukan dengan Tuhan
karena kita masih dalam fase pembelajaran menuju kedewasaan. Toh, seandainya
waktu dipertemukan dengan dia jauh
lebih cepat, itu berarti segala aspek saya memang sudah siap.”
Tak apalah kita lebih lama bertemu jodoh
kita. Sang Pemilik zaman pun tak menuntut kita untuk cepat-cepat menikah, ‘kan?
Dengan kesiapan kita yang lebih matang dibandingkan teman-teman kita, barang
kali nantinya kita mampu mendidik anak-anak kita lebih baik daripada didikan
orang lain. Dalam konteks melihat latar belakang pendidikan dan pengalaman
hidup.
Kesimpulan dari tulisan saya yang
sepanjang jembatan Korea-Indonesia ini adalah bahwasanya hidup ini bervariasi. Untuk
kalian yang anti kritik, saya ingin mengungkapkan kehidupan ini tidak bisa hanya
dipandang dari satu sedotan saja. Kehidupan sepasang sejoli dengan kehidupan
para orang-orang yang masih sendiri ini masih berada di ruang lingkup yang
sama, kita berada di dalam dunia yang sama, jadi tidak heran jika kita
setidaknya tahu dinamika kehidupan ini sejatinya tidak jauh berbeda dengan satu
dan yang lainnya.
Sampai jumpa di chapter berikutnya,
agaknya bila ada yang perlu atau bisa ditambahkan mengenai pemikiran di atas,
mari kita ngopi dan berdiskusi, entah
tentang isu-isu penting yang menyangkut dengan Peradaban Manusia atau Dunia
Baru. Akan saya uraikan dalam “Bagaimana Kita Melihat Teatrikal Dunia” Chapter
2.
Penulis : Hindun Zuliyyana
0Komentar