Petak Umpet. (Foto: Pinterest).


PC. PMII Tuban - Pagi ini aku membuatkan mi instan untuk kakak sulungku, dan dia sedang membaca koran hari ini di ruang tamu. Sembari sedikit demi sedikit menyeruput teh yang baru saja aku sajikan untuknya. “Tehnya kurang gula, ya.” Katanya sembari mengeraskan suaranya, karena aku sedang berada di dapur. Aku hanya diam, dipikirnya aku tidak merespon, padahal pikiranku terus berputar.

Teh dengan kopi, apa bedanya? Cara penyajiannya?, Aku kurang tahu. Kadang diriku selalu memarjinalkan diri sendiri, merasa terpinggirkan, padahal ada kakakku yang terus ada bersamaku. Ia mengajarkanku berbagai hal, dari menyajikan teh hingga menyiapkan kopi. Namun semuanya menjadi abu ketika aku selalu merasa tidak bisa apa-apa.

Mungkin karena pengaruh lingkungan sekolah, aku mengaku selalu mendapatkan perundungan mental dari teman-temanku, bahkan itu berasal dari sekolah yang notabenenya sekolah berkualitas di daerahnya. Miris sekali. Bahkan guru BK pun tidak ada gunanya selain memuja eksistensi siswa-siswa rangking satu setiap harinya. Dia pengangguran berkedok guru konseling kurasa.

Karena lingkungan tak sehat itulah, aku selalu terlihat seperti orang yang kurang percaya diri, tiba-tiba tidak mau berkumpul dengan orang-orang banyak, tiba-tiba membenci orang lain. Tiba-tiba terdiam seperti ini. Wajahku tak pernah mengungkapkan gimik apapun, toh, emosi yang tak terkendali hanya sebuah bom waktu. Kapankah kan berakhir? Aku tidak tahu. 

Suasana di rumah sangat hangat, bisa dikatakan sejuk. Meski rasanya tidak ada siapa-siapa di sekitar sini, kompleks lama yang kami tinggali adalah milik seorang juragan kaya raya yang meninggal setahun yang lalu. Selalu ada hembusan angin menghadirkan rasa yang tak biasanya setiap hari.

Aku masih sibuk di dapur, sampai pada akhirnya ketika semangkuk mi instan dengan tambahan sawi dan telur ceplok itu siap dihidangkan, dan aku pun bergegas bergabung di satu meja dengan kakakku. Kupikir aku akan kembali sibuk bersama buku gambar dan pensil warna.

Langkahku seketika terhenti ketika keheningan membungkamku tiba-tiba. Tatapanku tertuju pada seseorang yang sepuluh menit yang lalu masih berada di sana bersama lembaran-lembaran koran yang sedang ia baca. Ya, sedang ia baca. Aku tak berbohong! Sungguh, aku yakin dia tetap berada di sana. Dengan keadaan.

Aku terdiam dalam tatapanku sendiri, tubuhku seketika menggigil oleh hembusan angin kematian yang baru saja datang menghampiri jasad kakakku. Kepalanya tergeletak di atas meja dengan tumpukan koran yang basah dengan noda merah merembes dari sana. Warna itu begitu pekat, benarkah dia kakakku? Siapa yang menggantikan dirinya dengan orang yang telah mati?.

“Kau sendirian, gadis kecil?” Suara itu seperti sang peniup sangkakala yang sedang menjelma, dia tepat berada di belakang kakakku, di depan rak buku-buku tua milik kakakku. Sosok itu muncul, tidak sebagai pembunuh, kemunculannya seperti berasal dari cahaya yang menerobos dari balik jendela yang bening, memancar ke arah orang yang berpakaian jubah hitam dengan tudung itu, membuatku menangkap kesimpulan bahwa dia benar-benar nyata. Tapi bukan manusia.

Ia bertudung begitu rendah, hingga hanya tampak dagu dan bibirnya yang merona merah. Aku tidak tahu dia siapa. Aku masih pada posisiku, dengan mangkuk mi yang masih berada di atas nampan yang kubawa, mi instan untuk kakak pagi ini perlahan menjadi dingin. Aku seperti pelayan bodoh yang tidak tahu apa-apa. Apa yang sedang terjadi.

“Orang tuamu tidak akan tahu kau berada di sini.” Ujarnya, setelah langkahnya menghampiriku kemudian agak membungkuk ke arahku, bukan bermaksud menghormatiku, aku hanya lebih pendek dibandingkan dirinya.

Lirikanku tajam ke arahnya, meski bukan berarti hanya dengan seperti itu aku bisa melubangi tudungnya agar aku bisa melihat matanya. “Tak usah berpikir akulah yang membunuh kakakmu.” Katanya.

“Apa yang kau lakukan padanya!” Suaraku pelan, namun mengandung tangis yang kucoba menahannya untuk tidak melempar mangkuk mi ke arah orang bertudung itu.

“Aku tidak tahu, gadis kecil. Aku datang hanya ketika nyawa manusia telah meninggalkan jasadnya. Alam ruh telah membawanya.” Ujar orang itu.

Tanpa sadar aku mengumpat. “Maaf?” Orang itu memiringkan kepalanya seolah dia sedang salah dengar, namun tatapanku tidak ke arahnya, pandanganku nanar “Kakak mencoba mengerjaiku.” Aku sedikit tertawa setelah mengatakannya, kakakku memang dari dulu suka mengajakku bermain. Bahkan ketika keluargaku masih utuh. Ada ibu, ayah, dan kakakku, diriku saat berumur tujuh tahun, berlarian mengelilingi taman kecil di belakang rumah. Bersembunyi dirinya di suatu tempat dan aku akan menemukannya.

Tapi sekarang aku tidak bisa menemukannya lagi. Aku tak bisa lagi mencarinya ke tempat-tempat yang belum pernah kujamah. Alam ruh pun apalagi.

Dia menyuruhku menghidangkan mi yang segera dingin kemudian pergi bersembunyi agar aku mau menemukannya? Apa kita sedang bermain sekarang? Darah yang bercucuran dari lehernya yang tergores itu tidak bisa membuatku berbohong pada diri sendiri bahwa kakakku sedang bersembunyi.

Orang bertudung itu sampai akhir tidak bisa kulihat dengan jelas wajahnya seperti apa, dia masih tetap di sana, di satu ruang dengan jasad kakakku yang masih berada di tempat. Sampai pada akhirnya polisi setempat beserta beberapa detektif mulai memenuhi ruangan rumahku.

Banyak orang dan tetangga berada di luar rumahku yang mulai membicarakan apa sedang terjadi. Sementara diriku mulai diamankan beberapa orang dewasa yang sepertinya jauh lebih tua dibandingkan kakakku, dikira aku adalah saksi mata. 

“Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi.” Jawabku kemudian. Polos tak berekspresi, mungkinkah aku disebut sebagai tersangka? Aku tak lagi memegang nampan yang dingin itu, mereka segera memeriksa jasad kakakku yang sudah tak bernyawa itu ke rumah sakit untuk dilakukan autopsi.

Secepat itu kakakku bersembunyi. Aku belum sempat menemukan keberadaannya. Bersembunyi di mana kau, kak?. Kau menyuruhku membuatkan mi dan saat diriku berada di dapur kau bersembunyi begitu saja? Kau sedang mengajakku bermain petak umpet? Kau pikir aku bisa menemukanmu?!.

Hari ini hari terakhir aku hidup bersama kakakku. Pemakamannya dilakukan secara tertib, tidak ada kata sepatah kata dua digit yang kulontarkan kecuali tatapan sendu yang telah mewakiliku untuk menjawab pertanyaan para pelayat.

Pakaian mereka serba hitam begitu juga dengan diriku. Di depan foto kakakku aku menatapnya, foto dengan karangan bunga serta dupa yang ada bersamanya. Aku hanya bisa menemukanmu dari sini, kak, ujarku dalam hati. Menemukan dirimu yang sudah tak bernyawa itu.

Sungguh aku tidak punya perasaan untuk menangis, tidak ada pasir yang menggenang membasahi permukaan pipiku di hari berkabung ini. Bendera telah dikibarkan setengah tiang, namun rasa sedihku tak pernah datang.

Sepulang dari tempat pemakaman aku kembali ke rumahku yang sunyi itu, hendak melakukan kegiatan sehari-hari seperti biasanya dengan hidup tanpa kakakku untuk pertama kali. Ah, iya. Apa aku masih punya orang tua, ya? Orang bertudung hitam itu mengatakan bahwa orang tuaku tidak akan tahu tentang hal ini. Bagaimana bisa tidak tahu kalau aku mencoba menghubungi mereka melalui telepon rumah.

“Sudah aku bilang kau tidak akan bisa menghubungi orang tuamu soal ini.” Orang asing itu datang lagi, kali ini ia melepas tudungnya, hingga terlihatlah wajahnya. Waktu itu aku memang sudah mengenali wajahnya, tapi bila namanya sebut saja ia Mikail.

“Kau kesini lagi.”

“Aku turut berbelasungkawa atas meninggalnya kakakmu secara misterius. Aku juga hampir menuduhmu sebagai pelaku atas kasus ini. Tapi aku yakin kau adalah anak yang baik.”

“Kau bilang orang tuaku tidak akan mengetahui keberadaan diriku. Apa mereka juga tidak mengetahui kematian kakakku?! Seharusnya mereka tahu.”

“Tidak, jangan, aku tidak ingin kau tambah sedih.”

“Aku belum pernah menangis sepanjang upacara pemakaman.”

“Kalau begitu jangan lakukan itu.” Aku pun menurunkan ganggang telepon rumah dan meletakkannya kembali ke tempat semula. 

“Mau apa kau kesini.”

“Aku akan menemanimu selama tujuh hari setelah pemakaman kakakmu. Tak usah takut, hanya kau yang bisa melihatku.”

“Kakakku berbicara denganmu?”

“Kenapa?”

“Apa dia mengatakan kepadamu…untuk menemaniku?, Di sini?”

“Sudah menjadi tugasku untuk menghibur keluarga yang ditinggal pergi.”

“Ha! Keluarga.” Entah kapan terakhir kali hubunganku dengan semua keluarga yang kumiliki di masa lalu disebut seperti itu. Aku tak pernah merasakannya. Rasa sesama saudara tak pernah kucicipi sampai saat ini.

“Sampai kapanpun aku tidak akan bisa menemukanmu, kak.” Aku mengatakannya justru untuk diriku sendiri, meski pada akhirnya orang asing itu tetap memperhatikanku, “kakakku yang malang, kasihan sekali dia tidak bisa menyicipi mi dingin buatanku. Seharusnya ia tidak usah sembunyi seperti itu.”

“Kakakmu tidak bersembunyi—.”

“Aku tahu dia sedang bersembunyi!” Potongku aku menatap orang itu dengan kedua mata yang berkaca-kaca, “ia mengira aku bisa menemukannya dari balik puing-puing rumah dengan wujudnya yang tak terlihat. Dengan kondisinya yang seperti itu dia mengira aku tidak akan bisa menemukannya.

“Karena setiap kali ia bersembunyi aku bisa menemukannya dengan mudah, seperti menemukan uang di jalanan. Find me selalu menjadi kata-kata yang ia ucapkan ketika aku berhenti menghitung mulai dari satu sampai sepuluh dan menemukannya. 

“Aku tidak menghitung, aku melangkah menuju ke tempat di mana ia berada, ternyata dia sudah lebih dulu meninggalkanku. Bersembunyi di tempat yang tak terlihat dan tak akan kembali sampai aku bisa menemukannya.”

Orang asing itu menghampiriku, masih dengan pakaian hitamku dan dirinya yang berjubah hitam itu. Mendekap tubuhku seperti pelukan seorang kakak kepada adiknya yang rapuh.

Dan di sanalah aku mendekam tangisku bersamanya. Tangis tak bernada namun menyakitkan.


Penulis: Hindun Zuliyyana