Politik Uang Hanya Siasat Untuk Menipu Rakyat. (Foto: Kompas.com)

PC PMII TUBAN - Momentum Pilkada merupakan mekanisme penting dalam proses demokrasi untuk menentukan pemimpin suatu daerah yang akan menjalankan roda pemerintahan. Pilkada yang jujur, adil, bebas, dan transparan akan menentukan nasib pemimpin yang berkualitas pula dalam lima tahun ke depan.

Lantas bagaimana jika Pilkada yang seharusnya diimplementasikan dengan jujur, adil, bebas, dan transparan tapi dinodai dengan politik uang?.

Politik uang merupakan bentuk memberikan materi atau janji untuk menyogok seseorang supaya orang tersebut tidak menggunakan hak suaranya atau agar ia menggunakan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan untuk mengikuti kemauan para pemberi.

Sampai saat ini politik uang masih menjadi salah satu variabel kunci memobilisasi masyarakat dalam setiap momen kontestasi elektoral.

Fenomena politik uang bukan hal yang tabu lagi, seakan sudah menjadi syarat  jika seseorang ingin berkompetisi menjadi suatu pemimpin daerah hal utama yang harus dipersiapkan adalah modal uangnya.

Melihat pada pemilihan umum (pemilu) 14 Februari 2024, politik uang sudah menjadi wabah, yang sudah tersebar di seluruh daerah. Selain aktor politisi, warga pemilih cenderung permisif atau bahkan mendukung politik uang sebagai hal yang wajar dalam meraih kekuasaan.

Di antara masyarakat pemilih, ada yang hanya menantikan Pilkada bukan sebagai momen memberi kedaulatan kekuasaan rakyat, tetapi bisa digunakan memanen uang yang banyak dari masing-masing calon. Dan dari momen Pilkada sebelumnya sampai sekarang sebagai refleksi demokrasi belum dimaknai ideal sebagai ruang revolusi konflik, subtansial, dan sakral konstitusional.

Pilkada masih belum diartikan strategi mensinergikan dengan berbagai kepentingan untuk kemaslahatan rakyat dan berfikir yang ideal untuk mengelola daerah lima tahun ke depan dan fondasi pembangunan berkelanjutan.

Padahal praktik politik uang secara implisit sebenarnya rawan bisa membetuk karakter koruptor bagi para calon pemimpin, karena sudah tidak berpikir soal benar dan salah tetapi bagaimana soal menang dan kalah.

Maka dengan strategi apapun dilakukan demi mendapatkan kekuasaan. Tepatnya seperti Karakter Machiavelli, untuk memperoleh kekuasaan cara apapun dilakukan, apapun risikonya.

Kata Machiavelli menjadi benar dengan adanya gambaran politik di masa sekarang, kaum kapital atau birokrat seringkali meneror pemilih agar menjual hak politik mereka saat tiba hari pemilihan nanti. Mengancam, mengintimidasi jabatan, usaha yang digeluti tidak akan bermitra lagi atau berakhir pemecatan jika pemilih tidak patuh.

Dalam kondisi tertentu, seseorang mau tidak mau suka tidak suka terpaksa harus mengikuti keinginan kaum penguasa, mendapatkan kekuasaan dengan cara-cara kotor dan korup.

Untuk itu dilarang prihatin kalau kualitas, intelektualitas, moralitas produk hasil pemilihan calon pemimpin pun menjadi kurang memiliki kualifikasi desainer kedaerahan. Bahkan boleh jadi tidak sedikit calon terpilih sekedar mewakili sembako yang dibagi dan mewakili saweran uang yang dibagi kepada warga.

Makanya kalau tidak ada ijtihad lain atau kalkulasi lain, jangan menyesal jika kemudian kepala daerah yang terpilih yang sangat berambisi untuk menang, bertranformasi menjadi pengeruk, penggali sumur uang rakyat untuk mengganti biaya kampanye dan uang yang dibagi-bagikan kepada warga. Maka sebenarnya wajib prihatin jika nasib daerah lima tahun ke depan haya ditukarkan dengan uang 30 ribu, 50 ribu, 100, 150, dan seterusnya.

Perlu untuk menginisiasi langkah bersama, politik uang hanya dapat dicegah dengan kesadaran bersama. Bahwa politik jangan hanya cendrung merugikan rakyat lantaran menggerogoti anggaran, dan menyelewengkan kekuasaan.

Karena boleh jadi sebagian masyarakat pemilih mulai abai dengan siapa yang melakukan korupsi, yang penting dalam kontestasi, mereka mendapatkan jatah uang dari timses calon.

Dan perlu juru selamat yang mengingatkan sekaligus sebagai pihak yang senantiasa konsisten berdiri tegak bersama para pemilih. Disini bawaslu sebagai institusi pengawas pemilu harus membuktikan kapasitas penanganan pada terjadinya tindak pidana politik uang.

Dan yang paling penting adalah sikap dari rakyat sendirilah yang harusnya tegas untuk tidak memilih calon pemimpin daerah yang menghalalkan cara guna melampiaskan syahwat politiknya untuk mendapatkan kekuasaan dengan melakukan politik uang dalam bentuk apapun. 

Para pemilih, agar memilih kepala daerah yang sesuai dengan hati nuraninya, bukan karena iming-iming politik uang saja.

Kalau mau mempunyai pemimpin  jujur, masyarakat dalam menentukan suaranya juga harus jujur dan jangan bermimpi punya pemimpin yang baik jika suara rakyat mudah dibeli.

Jika calon pemimpin daerah yang menggunakan cara instan  dengan politik uang, maka tidak layak untuk kita pilih, karena politik uang merupakan politik minus ide. Disadari atau tidak, selama ini mereka memperlihatkan ketidakmampuan berpolitik dengan ide dan tidak memiliki integritas moral yang patut untuk kita dicontoh.

Oleh karena itu, penting untuk mengingatkan masyarakat betapa bahayanya memilih calon pemimpin yang mengandalkan kekuatan uang. Bukan hanya tidak kredibel dan koruptif, melainkan juga tidak memanusiakan dan menghormati rakyatnya.


Penulis : Ahmad Wafa Amrillah (Ketua PC PMII Tuban)